Latest Updates
Showing posts with label Faktur Pajak. Show all posts
Showing posts with label Faktur Pajak. Show all posts

Pajak atas Multi Level Marketing

Pajak atas Multi Level Marketing
Kegiatan penjualan melalui multi level marketing (MLM) saat ini demikian menjamur di masyarakat. Beragam produk ditawarkan lewat sistem multi level marketing, mulai dari produk kecantikan sampai produk-produk kesehatan. MLM  adalah suatu sistem penjualan secara langsung kepada konsumen yang dilakukan secara berantai oleh orang perorang sebagai distributor perusahaan MLM .

Pada prinsipnya perusahaan MLM  adalah struktur dimana semua anggota adalah distributor dari perusahaan MLM . Untuk memperluas jaringan distributor maka distributor tingkat pertama sebagai distributor sponsor (up-line) dapat menarik distributor tingkat dua yang disponsorinya (down-line) demikian seterusnya.
Dalam hal produk yang dibeli oleh distributor dari perusahaan MLM  tidak seluruhnya terjual maka perusahaan MLM  menjamin untuk membeli kembali produk tersebut. Terhadap setiap pembelian produk dari perusahaan MLM , para anggota dapat membayar dengan harga distributor (harga yang diberlakukan terhadap anggota), sedangkan untuk penjualan produk tersebut kepada konsumen yang bukan anggota, perusahaan MLM  menetapkan harga yang dianjurkan. Selisih antara harga yang dianjurkan dengan harga distributor merupakan keuntungan yang dinikmati oleh distributor.

Setiap bulan perusahaan MLM  akan memberikan rabat kepada distributor. Rabat tersebut diberikan dalam bentuk presentase tertentu secara bertingkat sesuai dengan akumulasi pembelian yang dilakukan oleh distributor. Rabat dapat berbentuk komisi, diskon, bonus dan lain sebagainya, namun pada hakekatnya adalah komisi penjualan yang diberikan oleh perusahaan MLM  kepada distributor.
Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) untuk kegiatan multi level marketing dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pajak yang diterapkan atas rabat (dengan berbagai macam nama dan bentuknya) dan atas keuntungan (selisih) dari harga yang dianjurkan dengan harga distributor.

Atas rabat yang diterimanya setiap bulan, distributor akan dipotong PPh oleh perusahaan MLM tempat yang bersangkutan bergabung. PPh ini biasa disebut sebagai PPh Pasal 21. Besarnya PPh Pasal 21 atas rabat didasarkan pada besarnya rabat yang diterima pada bulan tertentu. Selain itu, status perkawinan dan jumlah tanggungan distributor juga mempengaruhi besarnya PPh pasal 21. Mengingat perusahaan Multilevel Marketing adalah pihak yang paling mengetahui jaringan anggotanya, maka perusahaan Multilevel Marketing ditunjuk sebagai pihak yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap rabat.

Distributor MLM pun mempunyai hak dan kewajiban perpajakan yang sama seperti jenis profesi maupun kegiatan usaha lainnya. Sehingga, ketika distributor MLM memperoleh penghasilan tertentu (melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak), mereka diwajibkan untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Setelah ber-NPWP, setiap tahun mereka juga berkewajiban untuk melaporkan seluruh penghasilan yang diterimanya dalam Surat Pemberitahuan Tahun PPh Orang Pribadi.

Nah, PPh yang sering dilupakan oleh para distributor MLM adalah PPh atas penghasilan yang timbul dari selisih antara harga jual yang dianjurkan dengan harga distributor. Mayoritas distributor MLM beranggapan bahwa urusan pajak mereka telah selesai, ketika mereka dipotong pajak (PPh Pasal 21) oleh perusahaan MLM. Padahal sesuai dengan peraturan perpajakan, selisih antara harga yang dianjurkan dengan harga distributor pun merupakan obyek PPh. Oleh karena itu, distributor wajib melaporkan seluruh penghasilannya, yang terdiri dari  rabat yang diterima ditambah keuntungan dari selisih harga jual yang dianjurkan dengan harga distributor, dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya.

Kurangi Penyalahgunaan Faktur Pajak, Penomoran Faktur Pajak Diatur Kembali

Kurangi Penyalahgunaan Faktur Pajak, Penomoran Faktur Pajak Diatur Kembali
Ketentuan dalam membuat Faktur Pajak (FP) sekarang mengalami perubahan signifikan terutama dalam hal sistem penomoran. Hal tersebut diatur dalam PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang berlaku per 1 April 2013. Dengan penerbitan ketentuan baru ini, diharapkan berbagai pelanggaran berkenaan dengan ketentuan perpajakan khusunya tentang Pajak Pertambahan Nilai akan berkurang secara signifikan. Sebagai contoh, untuk pemberian Nomor Seri Faktur Pajak, PKP disyaratkan telah mempunyai Kode Aktivasi dan Password dan telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir. Selain itu, untuk mendapatkan Kode Aktivasi, disyaratkan terhadap PKP telah di lakukan Registrasi Ulang atau verifikasi. Dengan ketentuan baru ini tingkat kepatuhan Pengusaha Kena Pajak akan meningkat dan penerbitan Faktur Pajak Fiktif akan berkurang.
Beberapa hal terkait dengan penerbitan Faktur Pajak sesuai PER-24/PJ/2012 yang baru tersebut, Wajib Pajak perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Saat Pembuatan Faktur Pajak
    Menurut Peraturan yanglama PER-13/PJ./2010 jo PER-65/PJ/2010, faktur pajak harus dibuat pada:
    1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
    2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
    3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
    4. saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
    Di Peraturan yang baru (PER-24/PJ/2012) ditambahkan satu kondisi baru, yaitu saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    Selain penetapan saat penerbitan Faktur Pajak, di ketentuan ini juga di atur sanksi apabila ketentuan tentang saat penerbitan Faktur Pajak tersebut tidak dipenuhi, terhadap PKP akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 14 UU KUP. Apabila Faktur Pajak diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud di atas, PKP dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
    Akibatnya, PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak tersebut tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya sebagai Pajak Masukan.
  2. Penomoran Faktur Pajak
    Sistem penomoran Faktur Pajak mengalami perubahan yang cukup signifikan. Di sistem penomoran yang baru ini, jumlah digit Nomor Faktur Pajak tetap 16 (enam belas) digit, tetapi dengan pengaturan yang berbeda, yaitu:
    1. 2 (dua) digit Kode Transaksi;
    2. 1 (satu) digit Kode Status; dan
    3. 13 (tiga belas) digit Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
    Hanya pada bagian 13 (tiga belas) digit Nomor Seri Faktur Pajak ini saja yang mengalami perubahan yang signifikan. Di ketentuan yang lama Nomor Seri Faktur Pajak ini hanya terdiri atas 10 (sepuluh) digit saja dan diterbitkan secara urut mulai dari 0000000001 tiap awal tahun.
    Di ketentuan yang baru ini, Direktorat Jenderal Pajak yang akan memberikan nomor Faktur Pajak secara blok sesuai permintan Wajib Pajak.
    Sebagai contoh, PKP meminta 100 Nomor Seri Faktur Pajak, maka Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dapat berupa:
    • 900.13.00000001 s.d. 900.13.00000100;
    • 900.13.99999901 s.d. 901.13.00000000;
    • 900.13.99999999 s.d. 901.13.00000098, dan sebagainya.
    Catatan:
    Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan akan memberikan nomor seri Faktur Pajak ke PKP sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan dimulai dari Nomor Seri 900-13.00000001 untuk Faktur Pajak yang diterbitkan tanggal 1 April 2013. Untuk tahun 2014 akan dimulai dari nomor seri Faktur Pajak 000-14.00000001 demikian seterusnya.
  3. Pengajuan Permohonan Kode Aktivasi dan Password
    Agar dapat diberikan Nomor Seri Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak harus mengajukan surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password terlebih dahulu agar dapat memperoleh Nomor Faktur Pajak. Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Kode Aktivasi dan Password ke PKP setelah PKP memenuhi syarat sebagai berikut:
    1. PKP telah dilakukan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak dan laporan hasil registrasi ulang verifikasi menyatakan PKP tetap dikukuhkan; atau
    2. PKP telah dilakukan verifikasi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012
  4. Tatacara mengajukan Kode Aktivasi dan Password
    Tatacara mengajukan Kode Aktivasi dan Password di atur sebagai berikut:
    1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengajukan permohonan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan.
    2. Dalam hal Surat Permohonan sudah diisi dengan lengkap, PKP menerima Bukti Penerimaan Surat (BPS).
    3. Dalam hal permohonan Kode Aktivasi dan Password disetujui, PKP akan menerima Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi melalui jasa kurir ke alamat PKP sesuai  dengan data yang ada pada sistem di KPP dan menerima Password melalui surat elektronik (email). Dalam hal permohonan ditolak, PKP akan menerima surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi yang dikirimkan oleh KPP melalui jasa ekspedisi ke alamat PKP sesuai dengan data yang ada pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak.
    Untuk pertama kalinya Permohonan Kode Aktivasi dan Password dan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak dapat diajukan oleh PKP mulai tanggal 1 Maret 2013.
  5. Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak
    Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP terdaftar, akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak berdasarkan permintaan PKP, dengan syarat PKP telah mempunyai Kode Aktivasi dan Password. Selain itu, diperlukan pula syarat lain yaitu PKP telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir, yang telah jatuh tempo, secara berturut-turut pada tanggal permintaan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak.
  6. Penunjukkan dan Penandatangan Faktur Pajak
    Sebagaimana telah di atur di Peraturan terdahulu, PKP berkewajiban untuk memberitahukan ke KPP dimana PKP terdaftar tentang Pejabat/Pegawai yang berwenang untuk menandatangani Faktur Pajak. Namun demikian, peraturan terbaru ini mengharuskan PKP untuk melampirkan fotokopi identitas diri para pejabat/pegawai penandatangan faktur pajak yang telah dilegalisir oleh yang berwenang.
  7. Pemakaian Nomor Seri Faktur Pajak
    Berbeda dengan Peraturan sebelumnya yang mewajibkan penomoran Faktur Pajak secara sequence, di Peraturan yang baru ini PKP diperkenankan memberikan Nomor Seri Faktur Pajak secara tidak berurutan. Konsekuensinya, di setiap masa pajak Desember, Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak dipergunakan harus dilaporkan ke KPP tempat PKP terdaftar, sehingga Nomor Faktur Pajak yang dikeluarkan oleh PKP bersangkutan akan selalu termonitor
  8. Faktur Pajak Tidak Lengkap
    Di Peraturan yang baru ini tidak dikenal lagi istilah Faktur Pajak Cacat. Sebagai gantinya muncul istilah Faktur Pajak Tidak Lengkap. Pada dasarnya kedua istilah ini mempunyai pengertian yang sama. Di peraturan yang baru ini dipertegas bahwa PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Tidak Lengkap dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penegasan ini semakin memperjelas dan memberikan kepastian hukum bagi fiskus dan PKP.
Dengan adanya pengaturan kembali ini diharapkan penyalahgunaan faktur pajak dapat ditekan. Sehingga penerimaan pajak dari PPN dapat diamankan.

CERMATI DAFTAR PKP YANG YANG DICABUT AGAR TERHINDAR DARI SANKSI PERPAJAKAN

CERMATI DAFTAR PKP YANG YANG DICABUT AGAR TERHINDAR DARI SANKSI PERPAJAKAN


Bila kita cermati  akhir-akhir ini, sering kita lihat di media cetak ataupun media internet (utamanya situs www.pajak.go.id) pengumuman tentang perusahaan yang telah dicabut status Pengusaha Kena Pajaknya (PKP). Apa itu Pengusaha Kena Pajak? Apa konsekuensi hukum dari dicabutnya PKP? Kenapa mesti diumumkan ?
PENGUSAHA KENA PAJAK
Pengusaha Kena Pajak menurut UU Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai. So, bisa kita simpulkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah Subyek dari Pajak Pertambahan Nilai.  Artinya bahwa pengusaha tersebut harus memungut PPN ketika melakukan penyerahan Barang dan/atau Jasa berdasarkan UU dikenakan pajak (dalam hal ini Pajak Pertambahan Nilai). Namun demikian, tidak semua pengusaha mempunyai kewajiban tersebut. Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban tersebut.
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jumlah tersebut adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka kegiatan usahanya.
Contoh :
PT ABC adalah perusahaan yang mempunyai toko buku yang memperjualbelikan alat tulis kantor dan buku-buku pelajaran sekolah. Perusahaan itu didirikan tahun 2010. Ditahun 2010 tersebut, peredaran bruto Perusahaan mencapai Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Berdasarkan batasan tersebut di atas, PT ABC masih tergolong Pengusaha Kecil dan tidak berkewajiban untuk memungut PPN.
Di tahun 2011, penjualan PT ABC dari toko bukunya sebesar Rp 520.000.000,00 (lima ratus dua puluh juta rupiah). Karena kemajuan usahanya PT ABC bermaksud mengganti mobil perusahaan yang selama ini dipergunakan oleh Pemegang Sahamnya. Mobil lamanya tersebut dijual seharga Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Bila kita lihat secara keseluruhan peredaran bruto PT ABC di tahun 2011 sebesar 620.000.000,00 (enam ratus dua puluh uta rupiah). Dengan peredaran bruto sebesar tersebut, PT ABC bukan lagi merupakan Pengusaha Kecil. Namun demikian karena yang Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bukan merupakan penyerahan yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya, maka PT ABC pada tahun 2011 tetap berhak menyandang nama Pengusaha Kecil, kecuali PT ABC mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak.
HAK DAN KEWAJIBAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Sebagai Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, PT ABC mempunyai kewajiban untuk :  
1.   memungut,
2.   menyetor, dan
3.   melaporkan
PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Selain kewajiban tersebut, PT ABC mempunyai hak untuk :
1.   Mengkreditkan PPN yang dipungut oleh suppliernya
2.   Memperoleh kembali (restitusi) ataupun mengkompensasikan kelebihan pajak yang telah dipungut oleh suppliernya dalam hal pajak yang dipungut suppliernya lebih besar dari pajak yang telah PT ABC pungut dari konsumennya.
Untuk lebih jelasnya, mari perhatikan contoh berikut (Kita masih menggunakan PT ABC yang sama dengan contoh di atas) :
Untuk memenuhi stok barang dagangnya, PT ABC membeli ATK ke beberapa supplier, diantaranya PT XYZ (Pengusaha Kena Pajak juga).
Pada bulan Januari 2011 total transaksi kedua Perusahaan tersebut sebagai berikut :
PT ABC membeli Alat Tulis Kantor “hanya” dari PT XYZ sebesar Rp 10.000.000,00
PT ABC melakukan penjualan ke pembeli langsung sebesar Rp 15.000.000,00

Aspek Perpajakan (PPN) dari dua transaksi di atas adalah sebagai berikut:
1.   PT XYZ menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya kepada PT ABC. PT ABC dipungut PPN sebesar Rp 1.000.000,00.
Faktur Pajak ini mempunyai dua fungsi yang berbeda :
a.    Bagi PT XYZ faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran;
b.   Sedangkan bagi PT ABC, faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Masukan.
2.   PT ABC menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya ke Konsumen Langsung dengan memunut PPN sebesar Rp 1.500.000,00 :
a.    Bagi PT ABC faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran; dan
b.   Bagi Konsumen Langsung PT ABC, Faktur Pajak tersebut merupaka Faktur Pajak Masukan.
3.   PT ABC kemudian akan menyetor dan melaporkan PPN sebagai berikut :

Atas Penjualan Januari 2011 (Total Faktur 
Pajak Keluaran) :                          Rp   1.500.000,00
Atas Pembelian Januari 2011 (Total Faktur 
Pajak Masukan) :                          Rp   1.000.000,00
PPN yang masih harus disetor sebesar
(Rp 1.500.000,00-Rp 1.000.000,00) Rp      500.000,00

Proses Pengurangan Faktur Pajak Masukan yang di peroleh dari PT XYZ di atas disebut Pengkreditan Pajak Masukan.

4.   Sejumlah Rp 500.000,00 tersebut di atas, akan disetorkan oleh PT ABC ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.

PENCABUTAN PKP
Bila berdasarkan Konfirmasi Lapangan, diketahui data Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak terbukti tidak benar, alamat tidak ditemukan misalnya, pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Konsekuensi hukum dari Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas penjualan/penyerahan barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut, tidak dapat dikreditkan oleh pihak yang membeli. Dalam contoh di atas, apabila PT XYZ karena suatu dan lain hal dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT XYZ tidak dapat dipergunakan sebagai kredit pajak (pengurang) atas PPN yang harus disetor oleh PT ABC. Artinya, PT ABC harus menyetor PPN sebesar Total Faktur Pajak Keluaran, yaitu Rp 1.500.000,00. 

Konsekuensi hukum di atas dapat bertambah. Dengan tetap memakai ilustrasi di atas, kita misalkan Direktorat Jenderal Pajak sedang mengadakan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan khususnya PPN bulan Januari 2011 terhadap PT ABC. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa PT XYZ ternyata telah dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sehingga Faktur Pajak dari PT XYZ tidak diakui dan tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh PT ABC. Akibatnya, PT ABC diharuskan membayar (lagi) sebesar Rp 1.500.000,00 plus sanksi perpajakannya. Selain sanksi tersebut, terhadap PT ABC juga dapat dikenakan terseret ke arah hukum pidana bila di kemudian hari PT XYZ terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan faktur pajak (faktur fiktif).

Mengingat beratnya konsekuensi hukum dari dicabutnya status Pengusaha Kena Pajak bagi para pelaku usaha, perlu kiranya kita mencermati daftar Pengusaha Kena Pajak yang telah dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak. 

Catatan :
Tulisan ini telah dimuat di http://www.pajak.go.id/content/article/cermati-daftar-pkp-yang-dicabut-agar-terhindar-dari-sanksi-perpajakan