Seru juga mengawal salah satu kanal media sosial milik Ditjen Pajak. Begitu banyak pihak yang "concern" dengan kampanye pajak di media online.
Contoh untuk sebuah poster iseng yang saya coba upload di twitter berikut ini:
Berawal dari ide untuk menanggapi berita tentang pegawai pajak gadungan yang menarik pajak dari para wajib pajak, terbersit keinginan untuk melakukan twit tentang tempat pembayaran pajak yang benar, yaitu di Bank / kantor Pos Persepsi. Ide kemudian semakin dilengkapi oleh teman-teman pecinta pajak yang tergabung dalam sebuah grup whatssapps.
Jadilah konsep twit "Bayar pajak itu di Bank/Kantor Pos, Bukan di Kantor Pajak, apalagi ke Pegawai Pajak."
Agar lebih menarik perhatian para sahabat pajak yang mem follow akun pajak tersebut, saya meminta bantuan temen sebelah kubikel, Ari Maulana (Maul) yang emang jago bikin desain poster maupun flash.
Tak butuh waktu lama, setelah sedikit diskusi Maul pun selesai dengan desain berikut:
Desain Awal "Bayar Pajak di Bank/Kantor Pos" |
Benar saja, desain tersebut menarik perhatian banyak follower dan banyak sahabat pajak yang me-retweet poster tersebut. Saat itu sudah hampir 75 pengguna twitter yang me-retweet.
Melihat bahwa poster tersebut banyak yang suka dan me-retweet, admin kanal media sosial lainnya, facebook, pun turut mengunggah poster tersebut di time line Facebook.
Respon terhadap desain di atas di facebook juga sedemikian meriah. Banyak yang mengamini dan memberi "like" di postingan tersebut, kurang lebih 500 an like, sementara yang melakukan share mendekati 300 share.
Nah, dari sinilah (time line facebook) hipotesa saya (di awal tulisan) kemudian terbukti :). Ada beberapa pihak (pejabat DJP) yang kemudian memberikan komentar langsung ke atasan saya dan bertanya-tanya tentang desain tersebut. Mulai dari penggunaan warna merah untuk tanda centang (check) dan penggunaan tanda kurung di kata "bukan".
Baiklah, desain pun saya order untuk diubah, untuk mengakomodir masukkan tersebut. Walaupun sudah saya beri masukkan bahwa apa yang sudah di upload dan beredar di facebook, tidak bisa begitu saja ditarik dan di update. Artinya foto tersebut harus di delete dan kemudian kita upload ulang. Dan itu tidak dapat menghentikan laju peredaran gambar tersebut.
Inilah hasil revisi pertama nya...
Nah, sebelum sempat hasil revisi di eksekusi, datang lagi masukan dari salah seorang pejabat lagi, kali ini beliau mengingatkan bahwa sebaiknya sebagai institusi kita punya satu identitty, terlebih bila produk akan digunakan untuk konsumsi publik. Beliau menyarankan untuk mengadopsi template iklan yang sudah pernah dibuat sebelumnya.
OK, kita tinggal mindahin template ini, saya berpikir begitu.
Jreng-jreng...
Maul pun memindahkan desain hasil revisinya ke template desain yang sudah pernah dibuat. Jadilah desain berikut :
But....
This was not the end of the story....
When I was trying to get an approval from my big boss, as she said before that I have to get an approval before post anything on twitter, she told me that she was not pleased with the template. That we have to change the template and so on...
And then Maul decided to cool down and go on with another project.
Credits of all of the images on this post goes to Ari Maulana.
0 Response to "Pajak di Media Sosial"
Post a Comment