Bila kita
cermati akhir-akhir ini, sering kita
lihat di media cetak ataupun media internet (utamanya situs www.pajak.go.id)
pengumuman tentang perusahaan yang telah dicabut status Pengusaha Kena Pajaknya
(PKP). Apa itu Pengusaha Kena Pajak? Apa konsekuensi hukum dari dicabutnya PKP?
Kenapa mesti diumumkan ?
PENGUSAHA KENA PAJAK
Pengusaha Kena Pajak
menurut UU Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai adalah pengusaha
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan
Nilai. So, bisa kita simpulkan bahwa
Pengusaha Kena Pajak adalah Subyek dari Pajak Pertambahan Nilai. Artinya bahwa pengusaha tersebut harus
memungut PPN ketika melakukan penyerahan Barang dan/atau Jasa berdasarkan UU
dikenakan pajak (dalam hal ini Pajak Pertambahan Nilai). Namun demikian, tidak
semua pengusaha mempunyai kewajiban tersebut. Pengusaha Kecil dibebaskan dari
kewajiban tersebut.
Yang dimaksud dengan
Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran
bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah). Jumlah tersebut adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP dan/atau
JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka kegiatan usahanya.
Contoh :
PT ABC adalah perusahaan
yang mempunyai toko buku yang memperjualbelikan alat tulis kantor dan buku-buku
pelajaran sekolah. Perusahaan itu didirikan tahun 2010. Ditahun 2010 tersebut,
peredaran bruto Perusahaan mencapai Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Berdasarkan batasan tersebut di atas, PT ABC masih tergolong Pengusaha Kecil
dan tidak berkewajiban untuk memungut PPN.
Di tahun 2011,
penjualan PT ABC dari toko bukunya sebesar Rp 520.000.000,00 (lima ratus dua
puluh juta rupiah). Karena kemajuan usahanya PT ABC bermaksud mengganti mobil
perusahaan yang selama ini dipergunakan oleh Pemegang Sahamnya. Mobil lamanya
tersebut dijual seharga Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Bila kita lihat
secara keseluruhan peredaran bruto PT ABC di tahun 2011 sebesar 620.000.000,00
(enam ratus dua puluh uta rupiah). Dengan peredaran bruto sebesar tersebut, PT
ABC bukan lagi merupakan Pengusaha Kecil. Namun demikian karena yang Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bukan merupakan penyerahan yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan
usahanya,
maka PT ABC pada tahun 2011 tetap berhak menyandang nama Pengusaha Kecil,
kecuali PT ABC mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak.
HAK DAN KEWAJIBAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Sebagai Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, PT
ABC mempunyai kewajiban untuk :
1.
memungut,
2.
menyetor,
dan
3.
melaporkan
PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Selain kewajiban tersebut, PT ABC mempunyai hak untuk :
1.
Mengkreditkan
PPN yang dipungut oleh suppliernya
2.
Memperoleh
kembali (restitusi) ataupun mengkompensasikan kelebihan pajak yang telah
dipungut oleh suppliernya dalam hal pajak yang dipungut suppliernya lebih besar
dari pajak yang telah PT ABC pungut dari konsumennya.
Untuk lebih jelasnya, mari perhatikan contoh berikut (Kita masih
menggunakan PT ABC yang sama dengan contoh di atas) :
Untuk memenuhi stok barang dagangnya, PT ABC membeli ATK ke beberapa
supplier, diantaranya PT XYZ (Pengusaha Kena Pajak juga).
Pada bulan Januari 2011 total transaksi kedua Perusahaan tersebut
sebagai berikut :
PT ABC membeli Alat Tulis Kantor “hanya” dari PT
XYZ sebesar Rp 10.000.000,00
PT ABC melakukan penjualan ke pembeli langsung
sebesar Rp 15.000.000,00
Aspek Perpajakan (PPN) dari dua transaksi di atas
adalah sebagai berikut:
1.
PT XYZ
menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya kepada PT ABC. PT ABC dipungut PPN
sebesar Rp 1.000.000,00.
Faktur Pajak ini
mempunyai dua fungsi yang berbeda :
a.
Bagi PT XYZ
faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran;
b.
Sedangkan
bagi PT ABC, faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Masukan.
2.
PT ABC
menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya ke Konsumen Langsung dengan memunut
PPN sebesar Rp 1.500.000,00 :
a.
Bagi PT ABC
faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran; dan
b.
Bagi
Konsumen Langsung PT ABC, Faktur Pajak tersebut merupaka Faktur Pajak Masukan.
3.
PT ABC
kemudian akan menyetor dan melaporkan PPN sebagai berikut :
Atas Penjualan Januari 2011 (Total Faktur
Pajak
Keluaran) : Rp 1.500.000,00
Atas Pembelian Januari 2011 (Total Faktur
Pajak
Masukan) : Rp 1.000.000,00
PPN yang masih harus disetor sebesar
(Rp 1.500.000,00-Rp 1.000.000,00) Rp 500.000,00
Proses Pengurangan
Faktur Pajak Masukan yang di peroleh dari PT XYZ di atas disebut Pengkreditan
Pajak Masukan.
4.
Sejumlah Rp
500.000,00 tersebut di atas, akan disetorkan oleh PT ABC ke Kas Negara melalui
Bank Persepsi.
PENCABUTAN PKP
Bila berdasarkan
Konfirmasi Lapangan, diketahui data Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak terbukti tidak
benar, alamat tidak ditemukan misalnya, pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan
Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Konsekuensi hukum
dari Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah Faktur Pajak yang telah
diterbitkan atas penjualan/penyerahan barang dan/atau jasa oleh pengusaha
tersebut, tidak dapat dikreditkan oleh pihak yang membeli. Dalam contoh di
atas, apabila PT XYZ karena suatu dan lain hal dicabut statusnya sebagai
Pengusaha Kena Pajak, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT XYZ tidak
dapat dipergunakan sebagai kredit pajak (pengurang) atas PPN yang harus disetor
oleh PT ABC. Artinya, PT ABC harus menyetor PPN sebesar Total Faktur Pajak
Keluaran, yaitu Rp 1.500.000,00.
Konsekuensi hukum di
atas dapat bertambah. Dengan tetap memakai ilustrasi di atas, kita misalkan
Direktorat Jenderal Pajak sedang mengadakan pemeriksaan terhadap kewajiban
perpajakan khususnya PPN bulan Januari 2011 terhadap PT ABC. Berdasarkan hasil
pemeriksaan tersebut diketahui bahwa PT XYZ ternyata telah dicabut statusnya
sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sehingga Faktur Pajak dari PT XYZ tidak diakui
dan tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh PT ABC. Akibatnya, PT ABC
diharuskan membayar (lagi) sebesar Rp 1.500.000,00 plus sanksi perpajakannya.
Selain sanksi tersebut, terhadap PT ABC juga dapat dikenakan terseret ke arah
hukum pidana bila di kemudian hari PT XYZ terbukti melakukan tindak pidana
pemalsuan faktur pajak (faktur fiktif).
Mengingat beratnya
konsekuensi hukum dari dicabutnya status Pengusaha Kena Pajak bagi para pelaku
usaha, perlu kiranya kita mencermati daftar Pengusaha Kena Pajak yang telah
dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Catatan :
Tulisan ini telah dimuat di http://www.pajak.go.id/content/article/cermati-daftar-pkp-yang-dicabut-agar-terhindar-dari-sanksi-perpajakan
Catatan :
Tulisan ini telah dimuat di http://www.pajak.go.id/content/article/cermati-daftar-pkp-yang-dicabut-agar-terhindar-dari-sanksi-perpajakan